Catatan singkat dari Peluncuran dan Bincang Buku Pagar Kenabian
Acara Peluncuran Buku yang dimulai pada hampir pukul 15.00 pada Sabtu 31 Januari 2015 cukup meriah dengan kehadiran para tamu undangan dari berbagai wilayah ke lokasi acara, di Fit and Food, Jati Kramat, Bekasi. Panitia, TareSI Publisher cukup sibuk mempersiapkan perhelatan itu. Kehadiran Yudhistira Massardi sebagai pembahas buku menjadi penanda bahwa acara harus segera dimulai, dengan pemandu acara penyair Hasan Bisri Bfc.
Beberapa penampilan turut memeriahkan acara ini seperti musikalisasi puisi dari sanggar Sastra Kalimalang, Ane Matahari, Bambang Joko Susilo, Imam Maarif, Zaeni Boli, Budhi Setyawan, Alya Salaisha juga Rini Intama yang khusus datang dari Tangerang. Acara pembacaan puisi dimeriahkan juga oleh kehadiran kawan kawan dari Forum Sastra Bekasi. Saya tak hendak membahas penampilan demi penampilan secara kronologis, melainkan mengetengahkan sebuah pemikiran sederhana sebagai sesuatu yang tak boleh terlewatkan begitu saja.
Dalam perbincangan tentang puisi-puisi pada Pagar Kenabian karya Sofyan RH Zaid, beberapa catatan penting seperti yang diungkapkan oleh Yudhistira Massardi sebagai pembahas adalah, puisi-puisi yang ditulis dalam bentuk Nadhoman (nazam) adalah sebuah pembaharuan dalam penulisan puisi di Indonesia. Sofyan menulis puisi berbentuk nadhoman tentu tidak berangkat dari ruang kepala yang kosong.dalam penulisan puisi di Indonesia ini Sebagai penyair yang mendalami filsafat, tasawuf dan agama, ia menulis puisi berbentuk nadhoman dengan kedalaman yang tak bisa dikatakan main-main. Sejumlah pemikiran filosof dan para ahli tasawuf sangat mewarnai pemikiran dan penciptaan karya puisinya.
Catatan penting lainnya adalah, penulisan puisi dengan teknik Nazam yang lazim dihidupkan dalam tradisi sastra pesantren tidak serta merta hanya menggunakan tanda pagar (#) sebagai pemisah antara dua larik seperti yang dilakukan oleh penyair Sofyan, akan tetapi bagaimana agar jumlah kata dan rima (kesamaan bunyi) di akhir larik tetap memiliki kedalaman makna dan tentu membutuhkan kecerdasan pembaca untuk memahaminya. Jika Yudhistira mengungkapkan secara berkelakar bahwa menulis puisi dengan menggabungkan filsafat, tasawuf dan agama dipandang sebagai sesuatu yang serius, maka puisi “mbeling” adalah gaya penulisan puisi yang tidak selalu serius meski pun sejatinya puisi “mbeling” berawal dari pemikiran serius yang ditulis dengan tidak serius alias bercanda semacam humor satire. Menghadapi pertanyaan Herman Syahara (penyair, photographer) tentang upaya menjembatani antara puisi serius nazoman Sofyan dengan “mbeling”, Yudhistira yang dikenal sebagai penyair puisi “mbeling” hanya mengatakan bahwa tak ada yang perlu dijembatani. Kedua gaya penulisan puisi tersebut sama sama berawal dari pemikiran yang serius meski ditulis dengan dua gaya berbeda.
Pada bagian Mukadimah, Sofyan menandaskan tentang keputusannya meninggalkan penulisan puisi bebas dan menulis puisi nadhoman sebagai jalan baru perpuisiannya (II). Tentu keputusan itu tidak dibuat dengan main-main atau sentimental sesaat. Telah 14 tahun Sofyan RH Zaid menulis puisi, hingga ketika puisi-puisi karyanya yang ditulis dengan teknik nadhoman mulai mendapat tempat di meja redaktur sastra-budaya di berbagai media di Indonesia, ia merasa harus terus menulis puisi dengan gaya nadhoman, berharap bahwa tradisi sastra pesantren, yang menggauli sastra Arab akan terus bergerak dan bertumbuh. Harapan tersebut tentu bukan harapan kosong. Ketekunan dan konsistensi berkarya cipta sangat dibutuhkan untuk tetap bergelut dan berkarya dengan gaya penulisan ini.
Gaya penulisan puisi nadhoman adalah sesuatu yang ‘baru’ di khasanah kesusasteraan Indonesia. Melewati 95 tahun sejarah perpuisian di Indonesia, memulai sesuatu yang baru adalah sebuah keberanian. Revolusi membutuhkan keberanian, membentuk perubahan adalah revolusi.
Lewat karya-karya yang telah dan akan ditulisnya di kemudian hari, khalayak sastra akan menunggu apakah Sofyan tetap tekun dan konsisten menulis puisi dengan gaya nadhoman atau akan menyerah dan kembali pada gaya penulisan puisi bebas. Tapi sejarah akan mencatat sebuah kebenaran bahwa Sofyan merupakan pencipta awal penyair Indonesia yang memulai penulisan dengan gaya nadhoman.
Akhirul kalam, penyair asal Sumenep yang merupakan warga Bekasi ini turut mewarnai bentuk kesuasteraan Indonesia di masa sekarang dan masa yang akan datang.
Salam Sastra,
Weni Suryandari